Selain
Nessie dari Danau Loch Ness, ternyata di rimba Kongo ditemukan makhluk
sejenis. Penduduk lokal menyebutnya mokele-mbembe. Namun, mirip Nessie,
keberadaannya masih misterius. Bukti masih beredar dari “mulut ke
telinga”. Cerita mokele-mbembe penghuni dasar danau ini berawal sejak
tahun 1776, ketika sebuah cetakan jejak telapak kaki sepanjang sekitar 1
m ditemukan di permukaan lumpur di tepi sungai. Sebelumnya, ingatan
kolektif soal ini sudah beredar di kalangan penduduk pribumi.
Dalam
bahasa Lingala (salah satu bahasa di Kongo), mokele-mbembe berarti dia
yang dapat menghentikan arus sungai. Dengan bangun tubuh sebesar kuda
nil atau gajah afrika sepanjang 5 – 10 m arti tadi tidaklah berlebihan.
Sosoknya umum digambarkan mirip sauropoda, yakni dinosaurus terbesar
pemakan tumbuhan. Panjang leher hampir sama panjang ekornya, antara 1,6 –
3,3 m. Ada yang menggambarkannya berjumbai di kepalanya, mirip jengger
ayam jantan. Bahkan ada yang mengaku melihat sepasang tanduk di
kepalanya. Warna tubuhnya antara abu-abu hingga cokelat kemerahan.
Kulitnya tebal, licin, dan tidak berambut.
Mokele-mbembe
hidup di telaga atau daerah berawa-rawa di dekat sungai. Raksasa ini
sering menyeberangi danau saat pindah dari sungai satu ke sungai lain.
Seperti sauropoda, mokele memakan tumbuhan rawa. Makanan kesukaannya
pohon malombo, yang terdiri atas Landolphia manii dan L. owariensis.
Mokele menjadi misteri karena jarang menampakkan diri. Seperti Nessie,
ia lebih suka ngumpet di dalam air danau. Ia muncul saat kelaparan atau
pindah ke lain rawa. Karena minim saksi itulah, banyak yang bilang
binatang ini tak lebih dari kuda nil. Namun, orang-orang Pigmi penghuni
daerah aliran sungai Likouala (Kongo) ngotot itu bukanlah kuda nil.
Jadilah
kita terbengong-bengong! Masak orang asli di situ tidak bisa
membedakannya dengan kuda nil? Apalagi mereka bilang mokele justru akan
membunuh kuda nil yang dijumpainya. Jadi, mokele-mbembe itu benar-benar
ada? Itulah susahnya. Padahal tak kurang dari orang luar Afrika yang
memberikan keterangan. Tahun 1913, Freiherr von Stein zu Lausnitz
dikirim Pemerintah Jerman untuk mengeksplorasi Kamerun. Di sinilah ia
mendengar cerita penduduk tentang mokele-mbembe yang menghuni daerah di
sekitar Sungai Ubangi, Sangha, dan Ikelemba (Kongo). Menurut cerita yang
sampai ke telinganya, binatang ini sebesar gajah atau kuda nil, tapi
berleher panjang. Giginya hanya satu, tapi amat panjang, sampai-sampai
orang menganggapnya itu tanduk. Mokele-mbembe juga memiliki ekor seperti
buaya. Serunya lagi, von Stein mengaku melihat jejaknya di Sungai
Ssombo.
Cuma batang kayu ?
Dibandingkan
dengan Nessie, mokele-mbembe memang kalah populer. Situs google.com,
misalnya, memberikan sekitar 136.000 halaman mengenai monster dari Danau
Loch Ness itu. Sementara kapling mokele-mbembe cuma 2.020 halaman.
Selama ini cerita tentang monster ini hanya berasal dari penduduk di
sekitar sungai di pedalaman Kongo. Seiring dengan masuknya pendatang,
cerita tentang mokele pun bertambah.
Herman
Reguster, seorang penjelajah berkebangsaan Jerman, mengaku berhasil
memotret binatang itu di Telaga Tele pada tahun 1980. Sayang,
jepretannya tidak bicara banyak. Justru menimbulkan keraguan karena
banyak yang melihatnya sebagai punggung buaya. Ngenes-nya lagi, ada yang
bilang itu hanyalah batang kayu! Toh Reguster ngotot dengan
keyakinannya, sambil menyodorkan bukti tambahan berupa cetakan gips
jejak kaki mokele-mbembe. Sebelum kedatangan Herman Reguster, terhitung
sudah puluhan ekspedisi diadakan. Tujuannya menemukan mokele-mbembe atau
kerabatnya di jantung Afrika. Amerika, Jerman, Jepang, bahkan Afrika
sendiri pun berlomba-lomba menguak “harta karun” kerabat brontosaurus
ini. Tapi ya itu tadi, semakin banyak upaya semakin sedikit yang bisa
diperoleh.
Ekspedisi
paling awal dilakukan oleh Carl Hagenbeck, naturalis berkebangsaan
Jerman pada 1909. Hagenbeck kesengsem pada mokele-mbembe setelah
mendengarkan cerita dari sohibnya, Hans Schomburg, penjelajah asal
Inggris. “Binatang-nya besar, setengah gajah setengah naga. Hidupnya di
rawa-rawa Kongo,” begitu cerita yang membangkitkan semangat ingin
tahunya Schomburg. Sayang, nafsu besar tak didukung stamina dan
persiapan yang matang. Hagenback tidak dapat meneruskan ekspedisinya
karena penyakit dan serangan dari penduduk pribumi.
Dua
tahun kemudian, Smithsonian Institution di Washington, D.C. pun
tertarik menguak binatang “serba setengah” ini. Dikirimkanlah 32 orang
anggotanya. Enam hari mengubek-ubek hutan perawan Afrika, yang
diperolehnya hanya jejak-jejak raksasa dan suara yang – menurut mereka –
tidak serupa dengan suara binatang mana pun yang pernah dikenal. Sama
seperti Hagenback, ekspedisi ini juga kandas di tengah jalan.
Penyebabnya, saat menumpang kereta api menuju daerah yang diklaim oleh
peduduk lokal sebagai basisnya mokele-mbembe, gerbong kereta terbalik
dan menewaskan empat anggota ekspedisi. Enam anggota lainnya menderita
luka-luka.
Sepeninggal
Smithsonian masih banyak ekspedisi dilakukan. Tahun 1932, Ivan
Sanderson melakukan penjelajahan di Afrika dan menemukan jejak raksasa
yang mirip jejak kuda nil. Padahal di daerah itu tidak ditemukan kuda
nil. Menurut penduduk setempat, jejak itu milik mgbulueM’bembe. Jejak
serupa ternyata ditemukan pula oleh James H. Powell, yang dua kali
mengadakan ekspedisi (1972 dan 1976). Ketika ia menunjukkan gambar
dinosaurus sauropoda, penduduk mengenalinya sebagai mokele-mbembe.
Tahun
1983 Marcellin Agnagna dari Kongo membuat kemajuan yang berarti dalam
ekspedisinya. Ia melihat binatang raksasa yang keluar dari danau pada
jarak sekitar 275 m. Kepala makhluk itu berwarna kemerahan dan mirip
kepala buaya dengan mata lonjong. Ia yakin, binatang itu sejenis reptil,
tapi bukan buaya, kura-kura, atau ular raksasa. Tahun 1987, sebuah tim
dari Jepang mencoba merekam mokele-mbembe dengan kamera video.
Sayangnya, hasil bidikan mereka kurang jelas dan tidak meyakinkan.
Tidak sendirian
Mencari
mokele-mbembe ibarat menemukan jarum di tumpukan jerami. Kondisi hutan
Kongo yang rapat menyulitkan upaya itu. “Panas, peyakit, penduduk
pribumi liar, serta takhayul berada di sekeliling mokele-mbembe,” kata
Bill Gibbons, penjelajah yang ikut-ikutan mencari mokele. Hampir separuh
wilayah Kongo tertutup hutan lebat yang nyaris tidak berubah selama 60
juta tahun lamanya.
Hutannya
juga dipenuhi pohon berharga jual tinggi, seperti pohon mahogani dan
limba. Jalan dan perkampungan sangat jarang ditemukan. Bahkan pemandu
dan penduduk pribumi sering menolak mengantar peneliti masuk hutan meski
dibayar mahal. Hutan perawan sepanjang Sungai Kongo adalah yang
terganas, terpanas, dan paling jarang dikunjungi penjelajah. Jika memang
benar ada, di sinilah tempat yang tepat bagi dinosaurus.
Wajar
saja jika dari daerah yang tertutup itu berhembus cerita tentang
monster atau makhluk sisa-sisa peradaban masa lampau. Mokele-mbembe
tidak sendirian. Penduduk pribumi juga mengenal emelantouka, yang
digambarkan sebagai pembunuh gajah atau gajah air. Makhluk ini mirip
dinosaurus bertanduk, sosoknya sebesar gajah dan dengan tanduknya bisa
membunuh gajah atau badak.
Dalam
bukunya Eighteen Years on Lake Bangweulu, C.G. James melaporkan bahwa
emelantouka hidup di Danau Bangweulu, Mweru, serta rawa-rawa Kafue di
Zambia, juga di D. Tanganyika (Tanzania). Tahun 1933, menurut J.E.
Hughes, penduduk Wa-Ushi pernah membunuh makhluk serupa di Sungai
Luapula, yang terletak antara Danau Mweru dan Bangwelu di perbatasan
Zaire dan Zambia.
Si
pembunuh gajah ini ternyata juga dikenal di sekitar Danau Edward
wilayah Zaire dan Uganda. Konon, pada tahun 1934, binatang yang dikenal
dengan irizima ini terbunuh di Dongou, Kongo Utara. Selain di Dongou,
binatang yang digambarkan sebagai kuda nil bertanduk ini sering muncul
pula di daerah Epena dan Imfondo, masih di Kongo Utara.
Uniknya,
meskipun mirip badak (karena tanduknya mirip cula), culanya tidak
berambut seperti cula badak, melainkan mirip gading gajah. Roy P.
Machal, ahli cryptozooid (ilmu yang mempelajari binatang misterius),
yakin bahwa binatang yang di Kafue dikenal dengan chipekwe, sisa-sisa
dinosaurus bertanduk seperti tricerops. Mungkin sejenis monoclonius atau
centrosaurus.
Monster
lain yang sering disebut-sebut adalah mbielu-mbielu-mbielu. Tampangnya
mirip stegosaurus, binatang yang dipercaya memiliki lempengan keras di
punggungnya. Dinosaurus ini lebih jarang dikenal karena lebih sering
berendam di dalam air sungai. Hanya lempeng di punggungnya yang
kelihatan. Ada monster lagi yang bernama nguma monene, piton raksasa.
Cuma berbeda dengan ular sejenisnya, di punggung makhluk berpanjang
antara 40 – 60 m ini terdapat semacam sisik tegak.
Wah,
kalau begitu bukan ular dong! Cocoknya kadal raksasa. Penduduk sekitar
biasanya menyamakan nguma monene ini dengan mbielu-mbielu-mbielu. Kedua
monster ini hidup di daerah Sungai Dongou-Mataba di Republik Rakyat
Kongo.
Menemukan danau baru
Karena
minim bukti, banyak orang kemudian tidak yakin apakah monster-monster
tadi benar-benar ada. Menurut Redmond O’Hanlon, penulis dan penjelajah
Inggris, mungkin saja para saksi yang mengaku melihat binatang ini
keliru melihat gajah liar. Robert T. Bakker, paleontolog dan penulis
buku The Dinosaur Heresies juga menyangsikan adanya dinosaurus yang
masih hidup. “Dinosaurus tidak bakal bertahan hidup sekarang. Mereka
kalah bersaing dengan mamalia,” tegasnya.
Toh
pencarian mokele-mbembe tetap saja dilakukan. Dampak positifnya,
ditemukannya binatang-binatang baru seperti yang dialami William J.
Gibbons kala melakukan penyelidikan di Kongo. Ia menemukan sisa-sisa
tubuh monyet yang tidak dikenal sebelumnya. Setelah dibawa ke Inggris,
para pakar binatang menyimpulkan bahwa monyet itu adalah spesies
mangabey jenis baru (Cerocebus galeritus). Gibbon juga menemukan banyak
spesies serangga dan ikan yang belum dikenal. Ekspedisi berikutnya,
tahun 1992, bahkan menemukan dua danau baru yang sebelumnya tidak masuk
peta: Danau Fouloukuo dan Tibeke.
Mereka
yang percaya mokele-mbembe benar-benar ada mengacu kepada ditemukannya
antelop jenis baru di Vietnam (Dunia yang Hilang di Vu Quang ).
“Kemungkinan menemukan binatang besar jenis baru masih terbuka,” ujar
Adam Davies dari Manchester. “Jika kami menemukan mokele, kami takkan
mengusiknya. Tujuan utama kami adalah mendapatkan deskripsi akurat dan
fotonya. Kemudian kami akan mengusulkan perlindungan menyeluruh bagi
seluruh areal,” janji Davies.
Davies
tergabung dalam Tim Ove Sundberg, sebuah tim gabungan dari Swedia yang
ahli meneliti reptilia langka. Tim ini telah meneliti mokele-mbembe
sejak tahun 2000. Ketuanya Jan-Ove Sundberg, ahli cryptozoologi yang
pernah memburu monster laut di Danau Seljordvatnett di Norwegia.
Kendati
diramalkan bakal menemui kegagalan, tim ini tetap optimistis. “Kita
sedang menjelajahi sebuah daerah seluas dua kali Belgia yang tidak
berubah selama jutaan tahun. Jika kita menemukan makhluk ini, akan
menjadi sebuah alasan sangat kuat untuk melindungi seluruh habitatnya
dari tekanan ekonomi,” kembali Davies yang pernah memburu orang pendek
sumatra berjanji.